Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Pers Maju, Bangsa Melaju: Suara dari Kilometer Nol Indonesia


    Oleh: Bernadus Wilson Lumi
    Ketua Bidang Organisasi Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat_

    ADA yang istimewa dari Sabang pekan ini. Sabang kembali menjadi saksi sejarah. Di titik paling barat Indonesia, tepat di Monumen Kilometer Nol Indonesia, gema suara para insan pers menggema membawa pesan kebangsaan. Bukan sekadar perayaan ulang tahun ke-79 Serikat Perusahaan Pers (SPS), tapi sebuah pernyataan sikap yang mengguncang kesadaran: pers Indonesia sedang berada di titik kritis, dan negara harus hadir menyelamatkannya.

    Deklarasi ini bukan sekadar seremoni, melainkan refleksi atas situasi yang makin genting. Disrupsi digital telah menekan ruang hidup media konvensional, pendapatan iklan tersedot platform global, sementara literasi publik—terutama pembaca muda—kian melemah. Media yang dulu menjadi benteng demokrasi kini harus berjuang untuk sekadar bertahan hidup.

    Deklarasi Sabang, begitu nama yang disematkan, bukan hanya simbol geografis, tetapi juga metafora kebangkitan. Dari titik nol inilah SPS menyerukan dimulainya babak baru perjuangan pers nasional—kemandirian, keberlanjutan, dan keberpihakan terhadap kebenaran.

    Ketua Umum SPS, Januar P. Ruswita, menegaskan bahwa Sabang bukan hanya lokasi simbolik, tetapi juga panggilan untuk memulai kembali dari titik nol. “Dari titik nol inilah kami menyerukan kebangkitan kembali industri pers nasional agar ekosistem media Indonesia tidak berhenti di titik krisis, tapi justru memulai babak baru menuju kemandirian dan keberlanjutan,” ujarnya.

    _DEKLARASI SABANG: Dari Titik Nol Indonesia, seruan menyelamatkan masa depan pers menggema. (dok SPS)_


    *Pers di persimpangan krisis*


    Kita sedang hidup di masa ketika arus informasi tak lagi terkendali. Setiap orang bisa menjadi sumber berita, tetapi tak semua memahami etika dan tanggung jawab jurnalistik. Di sisi lain, media nasional menghadapi paradoks: harus tetap profesional di tengah sumber daya ekonomi yang makin terbatas.

    Inilah konteks yang melahirkan Deklarasi Sabang—sebuah panggilan untuk menyelamatkan pers Indonesia agar tidak menjadi penonton di negeri sendiri.

    Deklarasi Sabang memuat tiga komitmen besar yang layak mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. SPS melalui Deklarasi Sabang mengajukan tiga komitmen utama yang patut didukung oleh semua pihak.

    Pertama, perjuangan untuk menghadirkan Dana Jurnalisme Indonesia sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap jurnalisme independen. Dana ini bukan untuk membeli suara media, tapi untuk memastikan setiap warga negara tetap memiliki akses terhadap informasi yang benar dan bermartabat.

    Kedua, SPS menuntut keberpihakan ekonomi terhadap industri media nasional, termasuk penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi produk media cetak serta penataan belanja iklan pemerintah secara transparan dan adil. Sebab, hanya dengan media yang sehat secara ekonomi, demokrasi bisa berdiri tegak. Keadilan ekonomi media adalah fondasi dari kedaulatan informasi bangsa.

    Ketiga, komitmen menumbuhkan literasi media bagi generasi muda. Tanpa pembaca yang cerdas dan kritis, jurnalisme akan kehilangan maknanya. Literasi bukan sekadar kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan memahami, memverifikasi, dan menghargai kebenaran. Dalam era di mana setiap orang bisa menjadi penyebar informasi, kemampuan memilah kebenaran menjadi benteng terakhir dari banjir hoaks.

    Ketiga poin ini sesungguhnya bukan sekadar agenda organisasi, tapi panggilan moral bagi bangsa. Ketika media nasional lemah, yang mengambil alih ruang publik adalah suara-suara tak bertanggung jawab. Dan ketika generasi muda kehilangan kepercayaan pada media, yang lahir adalah kekosongan nurani demokrasi.

    *Dari Sabang untuk Indonesia*

    Seruan SPS dari Sabang sesungguhnya adalah panggilan untuk bangsa. Ketika pers melemah, demokrasi kehilangan nuraninya. Ketika media tidak berdaya secara ekonomi, kebenaran bisa diperjualbelikan. Dan ketika generasi muda kehilangan kepercayaan pada pers, maka bangsa kehilangan arah berpikirnya.

    Kini saatnya negara menunjukkan keberpihakan. Pemerintah harus melihat media bukan semata industri, tetapi juga pilar demokrasi dan ruang edukasi publik. Kini bola ada di tangan pemerintah. Apakah negara akan berpangku tangan melihat pers perlahan melemah, ataukah berani berdiri di sisi sejarah untuk memperkuatnya?

    Karena jika pers jatuh, demokrasi ikut rapuh. Dan mungkin, dari titik nol Sabang inilah, kita bisa memulai kembali—menuju Indonesia yang melek informasi, berdaulat secara ekonomi, dan kuat dalam kebenaran.

    Dari titik nol Sabang, suara itu menggema: “Pers Maju, Sumber Daya Indonesia Melaju!” Sebuah seruan yang seharusnya tak berhenti di monumen, tetapi bergema di setiap ruang kebijakan dan nurani bangsa.

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad


    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728